Padjadjaran Information and Cultural Event (Sesi Pertama)

Rabu,  23 April 2014  di Bale Santika Universitas Padjadjaran gue ikut acara PRICE (Padjajaran Information and Cultural Event) acara yang diselenggarakan untuk memperingati hari buku sedunia, yang berisi kegiatan sharing, apresiasi dan meet and Greet bersama para penulis The Journeys 3. Tahu siapa aja kan? Yes, bener. Ada Windy Ariestanty, Alexander Thian, Lucia Nancy, Alfred Fasifico, Valiant Budi, dan Hanny Kusumawati. 
Sharing bersama para penulis The Journeys 3
Ulalaaaa... aslinya gue seneng banget, apalagi pas gue liat disana ada Teh Windy *ceilehhh sok akrab banget pake manggil teteh segala*. Yang tau GagasMedia pasti tahu juga sama Windy Ariestanty, yes dia adalah pemimpin redaksi GagasMedia. Demi apalah, pas pertama liat dia dateng, gue langsung seneng. Pas denger dia ngomong gue langsung histeris, kagum dan ahhhh susah diungkapkan dengan kata-kata dan saat itu juga gue bertekad, gimanapun caranya gue harus bisa dapet foto sama dia. Mau dibilang norak juga bodo amatlah, yang penting mau foto, mau peluk, udah titik.

Berhasil, gue bisa foto banreng sama teh Windy
Gak tahu kenapa, pas gue mau minta foto gugupnya minta ampun. Tangan berasa mendadak dingin, untung gak sampe gemeteran.Dan setelah berhasil mengabadikan beberapa foto, senyum gue langsung merekah. Keliatan banget kalo gue bahagia.

Sebenernya hal lain yang jauh lebih berharga dari sekedar foto bareng adalah ilmu yang gue dapetin dari mereka. Ahhh pokoknya gue beneran menikmati acara ini. Mata dan telinga gue fokus ke depan menyimak semua yang mereka jelasin. Dan uwawwww bangetlah pokoknya. Gue sempet nulis beberapa hal yang gue anggep penting dari kegiatan sharing waktu itu, dan kira-kira seperti inilah beberapa pertanyaan yang sempet gue catet:

Menurut Mbak Windy, bener gak sih kalo minat baca remaja di Indonesia itu rendah?   
 Jika ditanya seperti itu, saya akan balik bertanya apa yang dijadikan tolak ukur sehingga bisa begitu mudah mengambil kesimpulan bahwa remaja Indonesia memiliki minat baca yang rendah? Padahal di Amerika saja, yang menjadi tolak ukur bahwa minat baca dari negera tersebut sudah bisa dikatakan baik adalah jika perbandingan antar buku dan pembaca adalah 1:5 artinya untuk satu buku dengan judul yang sama bisa dibaca oleh 5 orang yang berbeda. Lalu bagaimana dengan Indonesia? di indonesia perbandingannya sudah mencapai 1:7 berarti harusnya sudah bisa dibayangkan bagaimana minta baca di Indonesia. dan lagi, jika seandainya memang minat baca itu rendah, mungkin bagi kami yang yang berkecimpung pada bidang usaha penerbitan pasti akan gulung tikar - tapi, nayatanya tidak begitukan?
Bagaimana caraya agar kita bisa meningkatkan minat baca tanpa terkesan seperti memaksakan untuk membaca buku yang tidak kita suka?
Dalam hal ini perlu adanya segmentasi, seperti misalnya di Amerika buku yang memiliki tema yang sama mempunyai grade yang berbeda. Grade 1 untuk pemula, grade 2 untuk menengah, dan grade 3 untuk mereka yang sudah expert jadi dengan begitu setiap orang bisa membaca buku dengan tema yang sama tapi dengan penyajian yang berbeda disesuaikan dengan kebutuhan dari pembaca itu sendiri sehingga konten yang berat pun bisa disajikan dengan bahasa yang ringan karena ingat sesuatu yang disajikan ringan belum tentu kosong. Selain itu, saat ini sering kali kita ditanya "Berapa buku yang sudah kamu baca?" harusnya pertanyaan tersebut diubah, jangan hanya menanyakan masalah kuantitas tapi kualitas juga perlu diperhitungkan. Coba kita ubah saja pertanyaannya jadi "Berapa halaman yang sudah kamu baca?" dalam hal ini bukan hanya halaman buku saja, tapi juga termasuk halaman web, artikel, koran, majalah atau apapun. 

Bagaimana dengan perpustakaan di Indonesia? Mengapa sangat berbeda dengn perpustakaan di luar negeri?Di perpustakaan luar negeri pustakawan bisa jadi partner yang baik untuk diajak berdiskusi mengenai tema buku yang dibutuhkan oleh pemustaka, tapi lain hal dengan di Indonesia, ketika ditanya tentang buku tertentu, biasanya mereka hanya akan berkata "Saya juga kurang tahu, coba cari saja sebelah sana." Jadi kesannya pekerjaan pustakawan seperti dipilih karena memang tidak ada lagi pekerjaan yang lain. Jadi bagaimana?
Perpustakaan yang baik memang adalah perpustakaan yang mempunya interaksi yang baik dengan para pengunjungnya. Pustakawan harus lebih fleksibel, bisa memberika informasi yang tepat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para pemustaka. Cara berpikir seorang pustakawan juga harus diperbaiaki, jangan sampe ketika kita masuk ke perpustakaan kemudia disambut dengan kata-kata "ssttt...dilarang berisik!" kenapa harus begitu? kenapa perpustakaan harus dibuat hening? Yang justru harus dilakukan adalah bukan membuat perpustakaan menjadi tempat yang sepi dan hening, melainkan yang harus diciptakan adalah proses membaca yang menyenangkan.
Jika dikatakan pustakawan adalah profesi yang dipilih karena tidak ada pilihan lain rasanya itu salah, karena meskipun terkadang profesi ini masih dipandang sebelah mata, tapi seorang pustakawan memiliki kemampuan yang luar biasa pada bidangnya. Meraka adalah orang-orang yang mampu membuat sebuah buku berbicara dengan caranya sendiri. Seorang pustakawan memiliki cara yang berbeda dalam memandang sebuah buku, seorang pusstakawan akan mampu mengkomunikasikan sebuah buku kepada para pemustaka. Bahakan saat ini ada banyak lulusan dari jurusan perpustakaan yang juga terjun di bidang penerbitan, baik menjadi penulis maupun editor karena mereka mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap buku dan mempunyai kepekaan yang baik terhadap bahasa.


Kira-kira seperti itulah, hasil yang gue dapet di acara sharing bersama para penulis The Journeys 3 beserta Kang Dimas seorang pejuang penggerak minat baca di sesi pertama. Sharing berlanjut di sesi kedua dengan bahasan yang semakin seru dan menggila, jadi tungggu postingan berikutnya.


Evinervin

Mari berdiskusi, bertukar pemikiran untuk saling menggenapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar